Jumat, 11 Mei 2018

(Feature Harian Merdeka 21/7/2013) Keluarga Asal Jember ini Lahirkan 3 Doktor dalam 6 Bulan

https://www.merdeka.com/peristiwa/keluarga-asal-jember-ini-lahirkan-3-doktor-dalam-6-bulan.html

(Wawancara VOA 17/1/2018) The Most Dishonest and Corrupt Media Award : Otokritik atau Tekanan Terhadap Media

https://www.voaindonesia.com/a/the-most-dishonest-and-corrupt-media-awards-otokritik-atau-tekanan-terhadap-media/4209049.html

(Wawancara Media Indonesia 6/1/2017) Hoax Hancurkan Akal Sehat

http://mediaindonesia.com/read/detail/86277-hoax-hancurkan-akal-sehat

(Wawancara CNN Indonesia 2/4/2018) Geliat Persaingan Prabowo-Jokowi di Dunia Maya

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180401135047-32-287357/geliat-persaingan-prabowo-jokowi-di-dunia-maya

(Wawancara CNN Indonesia 7/8/2017) Acho-Green Pramuka dan Penindasan ala UU ITE

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170807061100-12-232865/acho-green-pramuka-dan-penindasan-ala-uu-ite

(Wawancara CNN Indonesia 28/8/2017) Saracen Bisnis Hancurkan Lawan Politik

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170828063335-32-237676/saracen-bisnis-hoax-hancurkan-lawan-politik

(Wawancara Femina 7/2/2018) Branding Harus Sejalan dengan Profesionalitas : Ini Alasannya

https://www.femina.co.id/career/personal-branding-harus-sejalan-dengan-profesionalitas-ini-alasannya

(Wawancara Femina 27/12/2017) Hati Hati Saat Memakai Emoji Bisa Menimbulkan Salah Paham

https://www.femina.co.id/gadget/hati-hati-saat-memakai-emoji-bisa-menimbulkan-salah-paham

(Wawancara Femina 1/11/2017) Memicu Penggunanya Hidup dalam Hiperrealitas Instagram Snapchat Dituding Paling Berbahaya Bagi Kesehatan Jiwa

https://www.femina.co.id/money/memicu-penggunanya-hidup-dalam-hiperealitas-instagram-snapchat-dituding-paling-berbahaya-bagi-kesehatan-jiwa-

(Wawancara Femina 12/1/2017) Cukupkah UU ITE Menjadi Solusi Penyebaran Hoax dan Hate Speech ?

https://www.femina.co.id/trending-topic/cukupkah-uu-ite-menjadi-solusi-penyebaran-hoax-dan-hate-speech-?p=2

(Wawancara Femina 25/11/2016) Perdebatan Pola Asuh Anak di Dunia Maya : Saat Jumlah Like Jadi Simbol Pembenaran Para Orang Tua

https://www.femina.co.id/family/rupa-berbeda-orang-tua-era-digital

(Wawancara Femina 16/6/2016) Memorabilia Cinta di Era Media Sosial

https://www.femina.co.id/trending-topic/memorabilia-cinta-di-era-media-sosial

(Wawancara Femina 21/4/2016) Laporan FGD : Cegah Gegar Budaya Digital


https://www.femina.co.id/trending-topic/laporan-fgd-cegah-gegar-budaya-digital

(Wawancara Femina 21/4/2016) Laporan FGD : Social Media di Mata Wanita Indonesia

https://www.femina.co.id/trending-topic/laporan-fgd-media-sosial-di-mata-wanita-indonesia

Hoax dan Pendidikan Emosi Massa

Hoax dan Pendidikan Emosi Massa


Hoax bermedium digital, subur menyebar. Sumber-sumber social media maupun instant messaging saling berinteraksi aktif jadi kendaraan penyebaran. Sumber social media di-copy paste disebarkan melalui instant messaging dan sebaliknya dialog-dialog cenderung privat di instant messaging tanpa filter lancar terdistribusi.  Sebagai pokok penyebabnya, literasi digital yang dibebani tanggung jawab. Literasi digital yang rendahlah yang menyebabkan hoax menyebar tak terbendung.
Pertanyaannya, jika faktor rendahnya literasi digital sebagai pangkal suburnya hoax menyebar, mengapa kelompok yang cenderung telah mumpuni dalam hal literasi digital, tak terhindarkan jadi korban dan kaki tangan penyebaran hoax ? Kelompok yang mumpuni ini, misalnya intelektual kampus, aktivis social media yang ada dalam range usia milenial, atau para penghayat teknologi informasi.

Berbagai jawaban coba diformulasikan untuk menjelaskan fenomena ini. Antara lain, bahwa medium digital adalah medium yang struktur dan tata aturannya sama sekali baru. Contohnya saja, ketika mengkonsumsi berita dari medium konvensional : koran, majalah, TV, radio, banyak pihak yang sudah tahu bahwa berita tersebut melewati mekanisme keredaksian yang ketat. Berita tak begitu saja diangkat dari sumber kejadian, untuk dipublikasi. Kebenaran isi berita, ada organisasi penjaminnya.  Jadi dengan mekanisme ini paling tidak, berita yang dikonsumsi bukanlah berita kosong. Apalagi jika dikaitkan dengan reputasi organisasi produsen beritanya. 

Perilaku yang diuraikan di atas menjadi jawaban spekulatif, ketika terdapat fenomena "seorang akademisi senior menjadi korban dan kaki tangan hoax". Diduga mereka telah terbiasa dengan mekanisme penyaringan berita konvensional, sehingga mengkonsumsi berita dari social media atau terusan copy paste hoax dari WA group, dianggap sebagai informasi yang telah termoderasi. 

Padahal mekanisme produksi berita dari berbagai medium digital ini, sama sekali beda. Hari ini semua pemilik account social media, dengan segala motifnya dapat memproduksi berita. Demikian pula yang terjadi dengan peserta group instant messaging, dengan serius atau bermain main dapat memproduksi dan mensdistribusi berita .  Penulis pernah menyampaikan kemungkinan ini dalam sebuah wawancara dengan sebuah koran konvensional. 
http://mediaindonesia.com/read/detail/86277-hoax-hancurkan-akal-sehat.

Jawaban lain dari fenomena di atas adalah para produsen hoax sangat memahami karakter konsumennya. Dengan tepat hoax diformulasi untuk mengguncang stabilitas emosional konsumennya. Stabilitas emosi yang terguncang, teraplikasi sebagai munculnya rasa marah, senang, khawatir, optimis, takut, tekad, cemas, antispatif dll.  Implikasi lazim dari emosi yang terguncang adalah berbagi rasa, sebagai upaya mengembalikan stabilitas emosional. Dari kecemasan akibat banyaknya informasi peristiwa pembegalan, berupa diteruskannya informasi tentang pembegalan, seraya bumbu nasihat untuk berhati-hati. Dari ketakutan akibat informasi kekacauan di Mako Brimob, adalah penyebaran foto korban atau peristiwa dari kejadian lain, untuk berbagi ketakutan. Ini biasanya diikuti peringatan  "hati hati melintas di Kelapa Dua, ada baku tembak".

Dari ilustrasi di atas nampak, tak bekerjanya peningkatan literasi digital untuk menangkal hoax, akibat terlalu terkonsentrasinya upaya ini pada aspek rasionalitas khalayak. Anggapannya, ketika aspek kognisi digarap dengan baik, maka hoax akan tertanggulangi, nampaknya tak terlalu membuahkan hasil.
file:///C:/Users/Administrator/Downloads/18NO29031019_R2.pdf/

Idealnya, ketika strukur emosional yang menjadi bentuk utama hoax, maka literasi emosionallah yang perlu mendapat porsi perhatian lebih dalam. Nampaknya belum ada upaya yang sistematis untuk mendidik masyarakat bagaimana mengendalikan rasa takut, menyalurkan rasa khawatir, berbagi rasa gembira yang berlebihan dll. Mencerna dan mengendalikan rasa perasaan patut dipikirkan sebagai jalan keluar penyebaran hoax.